‘Disana pasti
orangnya ramah-ramah, kan mereka asia juga.’
‘Sepertinya
Islam disana kuat dan kental sekali, katanya di mesjid mereka saat subuh selalu
penuh.’
‘Senangnya aku
akan tinggal di negara dengan empat musim, akhirnya aku akan bisa lihat salju
juga dikehidupan nyata.’
‘Aku akan buat
boneka salju yang besar dan main perang salju disana.’
‘Pasti tempat
disana cantik-cantik.’
‘Senangnya aku
akan punya teman internasional, pasti mereka seru-seru’
Semenjak aku mendapatkan surat penerimaan untuk melanjutkan kuliahku di
Turki pikiranku selalu melayang-layang kesana kemari. Entah memikirkan
plan-plan yang akan aku lakukan disana, entah membayangkan indahnya kehidupan
di bumi Allah belahan lain tersebut, entah membayangkan teman-teman baru dari
seluruh penjuru dunia yang akan kutemui nantinya, semua berkecamuk dipikiranku
seakan memenuhi seluruh ruang kosong diotakku.
Hari demi hari
kuhitung dengan tak sabar seakan anak kecil menunggu liburan tiba. Persiapanku
sudah lebih dari cukup ku pikir, bahkan terkesan berlebihan. Maklum saja anak
yang sejak kecil lahir, tumbuh dan selalu tinggal bersama orang tua juga selalu
berada di kota, bahkan tempat yang sama setiap harinya akan pergi jauh ke
tempat yang bahkan tak pernah sedikitpun tersirat dipikiran untuk ditinggali,
bahkan hanya sekedar untuk dikunjungi.
Paspor |
Hari yang
kutunggupun tiba menyapaku, diselimuti sejuta rasa yang tak dapat kuungkapkan
hingga terbanglah aku ke daratan Anatolia. Senang rasanya saat aku tiba pertama
kali di Istanbul, semua impian yang aku dampakan bak bergelimang didepan
mataku. ‘Ya sebentar lagi kau akan dapatkannya Ilma’ pikirku. Penerbangan
keduaku membawaku pada tujuan akhirku Konya, dibalik awan aku menyapanya lembut
‘Konya, aku datang’. Dataran luas tak berujung bagai padang pasir berselimut
semak, seakan tak ada pohon besar yang sanggup hidup daratan ini, gersang,
sepi... ‘mungkin tak masalah selama udaranya masih bisa berkompromi buatku’
pikirku positif.
Aku mungkin
terlahir untuk menjelajah, tak pernah ada sedikitpun kata jemu untukku, untuk
menjelajahi tempat baru, dunia baru, lingkungan baru. Setiap hari tramvay*1
membawaku pulang pergi berkelana ke tengah kota, ke kabupaten lain, ke tempat
lain. Dengan menjelajah aku belajar, dengan menjelajah aku paham dengan
merasakan yang terjadi disekitarku. Dan dengan menjelajah aku menemukan
kejadian yang tak kuduga. Aku berdiri untuk menunggu tramvay yang akan
membawaku kembali ke asrama tempatku bermukim, aku melihat sesosok manusia yang
sedang duduk di halte tramvay. Dari garis matanya siapapun bisa mengira dia
sudah banyak makan garam, kerudungnya sangat panjang hingga aku tak bisa melihat
separuh dari rok yang ia kenakan, bahkan mukanya pun tertutup rapi oleh cadar
yang menggantung anggun diwajahnya. Ia perlahan mengeluarkan sesuatu silinder
dari dalam sakunya seraya menyalakan silinder itu dengan api yang ia dapat dari
sakunya. Ya dia merokok, dia merokok...aku tak habis pikir bagaimana orang yang
begitu tertutupnya berani merokok didepan umum.
Aku
sudah tak ingin lagi memikirkan orang tua tadi, mungkin memang kebiasaan dia
saja yang begitu, mungkin hanya dia saja. Ketika aku mulai mencoba berpikir
positif ketika itupun aku mulai melihat orang-orang sperti ibu tua tadi lagi di
depanku, disampingku, dimanapun aku berada meski tak setiap saat. Bukan hanya
para lelaki, tapi wanita, ibu-ibu, nenek-nenek pun tak luput dari benda
silinder yang satu ini. Hingga aku mulai menghapus pikiranku untuk hal ini, aku
mulai tak perduli. Meski hatiku seakan tercambuk sakit, mungkin hanya aku yang
merasakannya, mungkin. Bagaimana tidak, negara yang dulunya kakhalifahan, yang
katanya menganut sistem keIslaman yang kuat ternodai oleh orang-orang mereka
sendiri, belum lagi kalau aku melihat para pemabuk yang berkeliaran dan orang
bercumbu ditempat umum. Sakit...
Terlepas
dari rasa sakit hatiku, aku tetap semangat untuk belajar bahasa Turki di
universitasku. Disini kami belajar langsung dengan orang turunan Turki asli.
Ya, Turki asli... ia tak bisa bahasa lain salain Turki. Aku tak merasa
terganggu akan hal itu. Selama dunia canggih, selama internet terkendali aku
masih dapat browsing kata-kata yang aku tak mengerti dengan perangkat telefon
pintarku.
Memiliki kelas
internasional memang terkesan sangat keren, apalagi dengan latar belakang
negara yang begitu berbeda satu sama lain. Sangat menarik dan juga menyenangkan.
Namun insan tak luput dari ketidaksempurnaan, dimanapun kalian berada,
diapapun mereka tak perduli asal mereka, mereka tetaplah manusia.
Kelasku Saat Tour |
Waktu ke waktu
karakter mereka mulai terlihat jelas didepan mataku. Penyabar, telili, suka
menolong, jail, senang membuat masalah, keras kepala, semua karakter yang
kalian bisa sebutkan seakan berkumpul dalam lingkungan tempat tinggalku. Hingga
pada suatu hari di kelas persiapan akar masalah mulai bermunculan kepermukaan. Kami
sering berdebat satu sama lain, terkadang kami atau mereka bermain etnis,
perdebatan yang tak berujung bahkan satu dari mereka mencoba menjatuhkan
reputasi negara kami didepan etnis lainnya. Guru kami bukan tak ikut membasmi
masalah ini tapi ia juga terkena serangan permainan etnis ini hingga suatu hari
ia bagai kebakaran jenggot dan kecewa terhadap orang tersebut.
Tanah air...
meskipun kita bermain etnis disana tak pernah terjadi sekeras ini. Kelas internasional
memang menyenangkan, tetapi tantangan internasional juga lebih besar kalau aku
tak mampu menangkasnya dengan sigap dan menyelesaikannya dengan bijak bukan hal
yang mudah, dan aku menyadarinya disini.
Daun-daun yang
berguguran sudah memenuhi penjuru kota, begitupun dengan keadaan didalam
kampusku ini, angin yang menerpa mulai dingin, terasa lebih dingin dari
sebelumnya, terasa mulai tak bersahabat lagi. Musim dingin pertamaku di Konya.
Aku memang sangat penasaran dengan butiran es berterbangan yang akrab disapa
salju. Tapi dingin ini seakan membekukan syaraf-syaraf persendianku, membekukan
tulangku, membuat darah keluar dari hidungku, membuat dagingku memerah bahkan
mengungu bak daging sapi yang dijual dipasar. Ohh dingin musim dingin ternyata
menyiksaku, sakit rasanya menghirup udara ini kepalaku pusing tujuh keliling,
dadaku sesak oleh udara ini. Perjuangan...
Butiran putih
yang kutunggu datang juga, aku berlari keluar untuk menangkap mereka bagai anak
kecil melihat balon berterbangan. Butiran lembut yang menyentuh telapak
tanganku lenyap dalam sekali sentuhan. Bentuknya indah persis gambaran salju
yang dilukiskan dengan bentuk segi enam, alangkah indah ciptaan-Nya. Kali pertama
aku melihat salju secara nyata. Bola salju, boneka salju, benteng salju, perang
salju, semua sudah kubuat bahkan aku berkali kali menjatuhkan diriku diatas
tumpukan-tumpukan salju itu. Merasakan bahwa ini nyata...
Bentuk Salju |
Roda terus
berputar hingga pada akhirnya aku tak begitu simpati lagi dengan salju di kota
ini, daratan ditengah Turki yang dipenuhi dengan gurun berselimut semak
mempengaruhi keadaan salju dikota ini. Dingin yang terus menyelimuti tempat ini
membuat salju yang terjatuh dijalanan membentuk es batu, menyatu satu dengan
yang lainnya, mengeras sekeras batu dan licin yang tak bisa kugambarkan lagi dengan
kata-kata.
Licin... akar
masalah yang membuatku segan dengan benda ini, dan sungkan untuk
bercengkrama dengannya lagi. Suatu hari saat aku pergi ke tempatku belajar,
dengan terburu-buru aku melangkahkan kakiku agar tak terlambat. Ku langkahkan
kakiku pada aspal hitam yang terbentang dihadapanku, namun dalam satu injakan
*gedebug* aku terjatuh dengan keadaan duduk. Sakit? Iya, malu? Apa lagi.. aku
terjatuh ditengah keramaian, dingin pula. Untung ada seorang wanita yang
berjalan dibelakangku dan mencoba menolongku, jika dia tak ada entah bagaimana
nasibku. Dihari yang sama kuputuskan untuk memeriksakan keadaanku. Hasil rontgen
menunjukan bahwa tulang ekorku sedikit bermasalah, ia masuk dan membengkok yang
membuatku sakit ketika akan tidur dan juga bangun. Sejak saat itu hubunganku
dengan salju tak sebaik dulu. Ia memang cantik dan bersinar, namun ku tersadar
yang bersinar tak selalu indah...
Ekspektasiku
akan Turki dan lingkungan disini tak selalu seperti apa yang kupikirkan. Tak pada
wanita tua yang merokok tersebut, tak pada lingkungan internasional yang seru
dan menyenangkan, tak juga dengan salju yang terlihat bersinar itu. Terlepas dari
itu semua, setiap hal adalah kenangan dan pelajaran...
What's the meaning? (Apa artinya?)
*1 kereta dalam kota
Sumber Foto :
http://www.cankiri.tv/
forumdetik.com
http://www.kompasiana.com/
https://jelajahdunia.wordpress.com/
Tulisan ini
dibuat untuk FLP Challenge (www.flpturki.com.) see the site for more :)
0 komentar:
Posting Komentar